Sebagai orang tua sebaiknya kita berhati-hati jika bertengkar dengan pasangan kita didepan anak, karena anak yang yang melihat langsung konflik orang tua akan mempengaruhi tumbuh kembangnya.
Narasumber kali ini seorang Psikolog Mbak Vera Ita Biliana Hadiwijaya.

Sebelum berbicara mengenai  dampaknya, sebenarnya konflik seperti apa si yang membawa dampak perkembangan anak? Semua konflik kah?
Secara umum si semua konflik yang terjadi di dalam hubungan pasangan di dalam hubungan orang tua bisa berpengaruh ke anak, kalau pun konflik ini bisa ditutup rapat-rapat di depan anak, anak kan sangat sensitif kadang mereka bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda nich antara ayah dan ibunya biasanya lebih hangat tapi kok ini dingin walaupun mungkin tidak bertengkar di depan anak secara langsung. Konflik apapun sebenarnya kalau terjadi dalam hubungan orang tua pasti ada pengaruhnya di anak, akan terasa juga di anak lambat laun.

Konflik yang seperti apa sih? Bisa dijelaskan nggak?
Konflik mulai dari yang kecil-kecil ya perbedaan pendapat si ayah lebih suka si anak masuk sekolah negeri ibu lebih suka anak masuk sekolah swasta nah itu kan perbedaan sekali.
Konflik itu dipandang sebagai suatu yang wajar karena dalam kehidupan berkeluarga ada pernikahan ada beberapa orang beda kepala, beda isi pikiran dan sebagainya bersatu dalam satu keluarga jadi konflik sangat lumrah terjadi tinggal tingkatannya ringan atau besar. Jadi konflik apapun bisa terjadi misalnya pemilihan cat rumah itu pun bisa jadi konflik. Kadang-kadang asalnya konflik itu kecil tapi kadang bisa merembet-merembet ke hal-hal yang terus mengungkit-ungkit masa lalu terus tumbuh besar dan melibatkan pihak-pihak lain jadi konflik sebesar apapun bisa berpengaruh ke anak karena kan orang tua adalah pilar pegangannya anak, jadi tempat berpijak yang namanya anak-anak. Jadi apapun yang terjadi pada orang tua akan berpengaruh ke anak. Kalau anak melihat orang tua bermasalah dalam hubungan mereka, mereka seperti gampang juga tempat berpijak nya ini itu ada apa jadi berpengaruh juga pada emosi mereka, membuat mereka jadi kurang konsentrasi pada aktivitas mereka yang lain karena memikirkan hal itu terus.

Biasanya faktor apa yang membuat orang tua itu kemudian memunculkan atau menampilkan konflik atau perbedaan atau pertengkarannya di depan anak-anak karena kan kadang-kadang suka nggak sadar los aja
Kan karena kesulitan mengendalikan emosi karena sudah sangat emosional, sudah memuncak sekali masalahnya akhirnya lepaslah didepan anak karena nggak bisa ditahan, tidak bisa pandang ada anak-anak disitu akhirnya pecah berkonflik bertengkar didepan anak. Tapi ada juga orang tua yang sengaja diperlihatkan didepan anak untuk mendapatkan dukungan gitu. Itu sebenarnya nggak adil ya, anak ditempatkan di posisi untuk memilih gitu misal yang bener kamu ikut siapa sih? Jadi itu sengaja ditunjukkan didepan anak bahwa benar kami menang sedang berkonflik dan kamu harus memilih dan memutuskan. Dan keputusan seperti ini nggak adil sekali bagi anak karena anak sampai kapanpun butuh keduanya jangan biarkan anak untuk memilih.

Pembawa acara menanyakan ke kak Bosco (pianis) kita berbicara dampak konflik orang tua terhadap perkembangan anak,  Kak Bosco sendiri kalau lagi beda pendapat dengan pasangan dan ada anak juga biasanya gimana si kak? Kalau kita si dari awal sepakat kalau konflik itu harus sebisa mungkin konflik dibicarakan berdua sekurang-kurangnya tidak melibatkan pihak luar terutama mertua tapi kadang kita merasa anak perlu tahu misalnya  soal sekolah anak, kita biarkan anak-anak tahu, lalu kita lihat gimana reaksi mereka?

Kalau yang seperti itu masih oke nggak mbak Vera?
Jadi konflik itu tidak selalu negatif tergantung bagaimana orang tua mengelola si konflik ini, konflik kan tidak bisa dihindarkan tapi orang tua disisi lain juga bisa memperlihatkan yes kami punya konflik yes kami bisa menyelesaikannya dengan baik, nah itu bisa diperlihatkan  didepan anak seperti contohnya tadi kak Bosco ada beda pendapat dengan  isteri, diskusi  debat argumen didepan anak, anak bisa lihat disitu nggak apa-apa jadi dia melihat contoh bagaimana sih menyelesaikan konflik dengan orang lain dan kita perlihatkan juga kita mencapai kesepakatan yang seperti apa, baikkannya lagi itu seperti apa itu diperlihatkan juga didepan anak. Jadi ketika anak melihat orang tuanya ada beda pendapat ada konflik nggak gampang cemas. O ayah ibu beda pendapat tapi biasanya mereka bisa akur lagi. Tapi tergantung dari kedewasaan orang tua itu sendiri kalau berkonflik itu kalau lagi berargumen pake acara ngambek-ngambek, pake acara lempar piring, nggak lucu juga dicontoh anak karena kan tetap sebagai orang tua tugas kita sebagai role model termasuk ketika berkonflik tunjukkan ke anak bagaimana kita menyelesaikan masalah. Jadi sudut pandangnya pun harus ditujukan  ke anak nggak semua konflik itu negatif tapi juga ada yang positif dan anak perlu tahu makanya harus tuntas.

Kalau sampai sering kali melihat orang tuanya berkonflik anak terpapar melihat orang tuanya bertengkar sebenarnya dampak untuk anak kaya gimana sih?
Dampak nya bisa kita kategorikan menjadi dua bisa negatif bisa positif tergantung bagaimana orang  tua mengelola si konflik tadi kan konflik tidak bisa terhindarkan, nggak ada pasangan yang bebas konflik. Jadi kalau konflik dikelola secara positif bentuknya kayak tadi diskusi, adu argumen anak juga melihat bagaimana orang tua mencapai kesepakatan, baikan lagi terus masalah lagi nah itu dampaknya positif, anak jadi berpikir oh hubungan dua orang dewasa dalam  pernikahan memang seperti ini, beda pendapat itu hal biasa sepanjang ada penyelesaiannya, cara menyelesaikan seperti apa mereka bisa belajar disitu untuk mereka terapkan ketika menghadapi konflik diluar rumah di sosialisasinya mereka.
Tapi kalau konflik ini tidak bisa dikelola dengan baik jadinya kan negatif dampaknya bentuknya pertengkaran, adu mulut, emosi mungkin juga ada kekerasan fisik dan sebagainya tentu dampaknya negatif. Akan timbul perasaan  cemas. Karena kan dua ayah ibu ini tempat bernaung tempat berlindung, dapat rasa aman dan nyaman disitu. Ketika misalnya ya kaya rumah, orang tua itu buat anak orang tua itu seperti rumah, kalau rumah kita bocor, ada yang rusak pasti kan kita tidak lagi nyaman tinggal disitu. Begitu juga ketika anak melihat kedua orang tuanya bertengkar Seringkali  berulang kali bahkan ada kekerasan fisik dan akan timbul didalam diri anak rasa cemas, rasa takut kehilangan  salah satu dari orang tuanya biasanya kalau bertengkar salah satu pihak mengancam akan pergi dan sebagainya. Disitu timbul kecemasan dan anak kan punya keterbatasan dalam pemikiran, mereka kan nggak ngerti nih apa yang diributkan dan akan seperti apa, akan menimbulkan perasaan-perasaan cemas dan takut didalam diri anak ditambah lagi kalau si orang tua ini langsung menempatkan anak dalam posisi yang sulit, meminta anak untuk memilih, mencari dukungan dari anak misalnya ketika ibu ribut dengan ayahnya pada saat ayahnya tidak ada si ibu menjelek-jelekkan ayah didepan anak itu juga membuat anak tidak nyaman. Karena bentuknya seperti apapun itu tetap ayah mereka itu tetap ibu mereka dan mereka tetap butuh kedua-duanya.

Sebenarnya pada saat orang tua bertengkar, pada saat anak melihat orang tuanya bertengkar itu bukan saja konflik yang sehat lagi, sebenarnya yang dirasakan anak itu apa si? Dinamika emosi didalam diri anak pada saat melihat orang  tua bertengkar itu seperti apa? sama nggak si pada masing-masing tahapan usianya?
Kurang lebih sama, emosi yang muncul ketika melihat dua orang bertengkar dihadapan mereka adalah takut, situasinya jadi menakutkan buat mereka, jadi mereka bisa ikut emosi juga, bisa juga historikal, bisa juga menarik diri takut diam seperti itu.

Berapa sering frekuensi konflik tersebut sampai akhirnya tadi yang Mbak Vera sampaikan bisa membawa pengaruh kecemasan bahkan membuat anak merasa trauma, itu berapa sering anak melihat, berapa sering anak terpapar sehingga efek negatif itu muncul?
Batasan frekuensinya tidak ada, kalau berulang kali dilakukan frekuensinya sering juga akan berdampak tapi ada juga kasusnya hanya sekali tapi yang dilihat itu sangat traumatis itu juga berdampak parah juga kepada anak. Biasanya melihat kekerasan fisik, misalnya anak melihat ibunya diciderai fisik, dipukuli ayahnya padahal itu cuma satu kali tapi itu bisa terbawa sampai lama.

Sebenarnya umur berapa sih anak sudah mulai paham oh orang tuaku lagi bertengkar nih, oh situasi keduanya sedang nggak bagus, umur berapa anak sudah mulai paham?
Sebenarnya dari usia sangat kecil pun anak sudah mengerti mereka, tapi reaksi yang ditimbulkan akan berbeda-beda tergantung usianya kalau usianya 2-3 tahun bisa ekspresi verbal, mereka bisa bilang takut, nangis, papa jangan mama jangan, bisa melontarkan kalimat-kalimat seperti itu, tapi untuk yang lebih kecil 1 tahun atau beberapa bulan, secara emosional kepekaan mereka sudah muncul, bisa merasakan ada something wrong biasanya bentuknya rewel. Apalagi kalau ibunya sedang gelisah anak bayi juga ikut, sebagai ibu dulu pernah nggak enak sebagai anak juga ngikut, ikut tidak enak juga, ikut rewel juga. Dari kecil pun anak bisa merasakan efek negatif pertengkaran.

Kalau anak kerap kali melihat orang tuanya bertengkar dan emosi anak jelas takut tapi kan kadang rasa takut nggak terlihat, oh anak ini takut, kita nggak tahu dalam emosinya kaya gimana, ada nggak indikasi atau perilaku, oke kayanya anak ini terpengaruh nih atas pertengkaran orang tuanya, itu bisa kita lihat perilaku realnya seperti apa?
Ya, takut, cemas di anak itu bisa terlihat misalnya untuk anak-anak yang usia kecil bisa ada gangguan pola tidur, pola makan terus juga responnya kepada salah satu orang tua jadinya berbeda, jadi takut sama ayahnya mungkin, jadi nggak mau sama ibunya, nggak nyaman, jadi lebih memilih dengan yang lain mungkin sama pengasuh atau sama nenek biasanya. Jadi mereka mencari figur lain yang bisa memberikan kenyamanan. Nah untuk anak-anak yang sudah masuk usia sekolah biasanya anak-anak juga terpengaruh tuh, jadi ada anak-anak yang terpengaruh konsentrasinya jadi banyak melamun dikelas, banyak tugas-tugas yang terbelengkalai karena pikirannya ada di tempat lain, juga ada beberapa kasus anak jadi sangat klining jadi sangat tergantung pada salah satu orang tua, jadi sangat takut kehilangan, kasus yang pernah saya tangani anak ini sampai tidak mau sekolah karena dia takut kalau dia sekolah oh ibunya atau ayahnya akan pergi jadi salah satu dari orang tua akan pergi meninggalkan rumah jadi dia lebih mending di rumah saja, jadi nggak mau pergi kemana-mana karena takut kehilangan salah satu karena seringnya melihat mereka bertengkar dan ada ancaman salah satu akan pergi dan sebagainya.

Pertanyaan penelepon dari ibu Lina di Bogor
Jadi gini saya saat ini umurnya 25 tahun, dari dulu si saya suka lihat mama saya bertengkar dengan papa saya, dapat kekerasan juga. Saya merasa saya sulit untuk dekat dengan laki-laki, jadi solusinya bagaimana ya?
Pembawa acara Ayoe Soetomo: "Mbak Vera, memang anak-anak yang sering melihat orang tuanya bertengkar dimasa kecil seperti ibu Lina tadi? Kerap membawa pengaruh dirinya dimasa dewasa?"
Mbak Vera : " Ya, mbak Lina tadi ya sebenernya belum menikah, jadi seorang anak melihat sesuatu berulang kali sehingga membuat hal itu menjadi hal biasa yang dia lihat itu kan mau tidak mau mengubah persepsi dia akan sesuatu, jadi dia bisa saja punya persepsi oh  ya pernikahan itu memang seperti itu buruknya, laki-laki memang seperti itu buruknya memperlakukan istrinya, bisa terpatri seperti itu dalam pikiran mereka. Kalau ini tidak dirubah akan berpengaruh pada langkah-langkah yang mereka ambil pada waktu mereka dewasa seperti yang terjadi pada mbak Lina ini. Untuk mbak Lina saran saya adalah memang harus berdamai dengan apa yang terjadi pada masa lalu. Yakinkan pada diri sendiri bahwa memang tidak semuanya akan seperti itu, tidak semuanya lelaki akan berbuat seperti itu. Tapi untuk melakukan itu sendiri tidak mudah ya, ingat untuk usianya sudah 25 tahun, carilah bantuan pihak ketiga misalnya psikolog atau teman diskusi yang enak untuk menentukan langkah berikutnya yang penting adalah sadari bahwa jadi seperti dikotak-kotakkan, Oya orang tua tua saya memang punya masalah, masalah ini ada di kotak ini, mereka punya masalah sendiri dan mungkin juga sebagai anak saya sulit untuk paham toh sekarang masalahnya sudah selesai ya sudahlah dan sekarang saya ada di kotak lainnya dan punya kehidupan sendiri dan saya ingin juga bangun sendiri dengan cara sendiri dan pemikiran saya sendiri dan juga tidak ada pemikiran bahwa tidak akan mau seperti itu lagi."
Yakinkan diri atau kalau dirasakan sulit bantuan psikolog atau teman diskusi yang tepat tidak akan salah untuk bisa menimbulkan suatu keyakinan yang kurang tepat.

Ada nggak yang anak-anak tertentu yang masih kecil yang sering kali melihat orang tuanya bertengkar membawa pengaruh besar dalam hidupnya seperti yang mbak Lina tadi? Tapi ada juga anak-anak yang sering terpapar pertengkaran orang tua, orang tua yang berkonflik ke arah yang negatif seperti itu tapi pada saat besarnya baik-baik saja, oke-oke saja, sebenarnya faktor apa saja sih yang bisa mempengaruhi seorang anak mampu mengatasi situasi itu dengan baik dan sebagian anak lain begitu kesulitan untuk menghadapi situasi tersebut?
Biasanya yang mempengaruhi gini, hubungan kedekatan antara anak sama orang tua sangat berpengaruh dalam hal ini, jadi kalau misalnya anak ini punya kedekatan yang baik, sangat dekat, sangat lekat dengan orang tuanya pada saat terjadi sesuatu dengan orang tuanya sangat berimpact dalam pengaruh anak tapi kalau dilain sisi misalnya hubungan dengan orang tuannya memang tidak terlalu dekat misalnya biasa diasuh oleh neneknya orang tuanya bekerja jadi tidak terlalu eratlah hubungan jadi tidak terlalu signifikan dampaknya di anak, ada dampaknya tapi tidak terlalu besar karena selama ini pun peran orang tua dalam kehidupan anak tidak terlalu banyak, itu bisa saja terjadi. Terus kedua ada faktor-faktor lain, ada dukungan pihak lain yang tetap menjaga anak tetap merasa aman dan nyaman, ketika orang tuanya bermasalah ada figur-figur lain yang bisa membuat anak tetap merasa aman dan nyaman, tetap mendapatkan kasih sayang, bisa menenangkan, nggak apa-apa nanti ayah dan ibu juga akan baikan lagi, itu akan membuat anak lebih terbantu.
sumber gambar
Tadi kita sudah membahas konflik yang mengarah nya ke negatif atau pertengkaran sehingga membawa dampak negatif pada anak, nah sebetulnya konflik bisa diarahkan ke sesuatu yang membangun gimana orang tua menghadapi atau bersikap terhadap konflik tersebut, nah sebetulnya sikap mengarahkan suatu konflik menjadi suatu hal yang positif dan membawa dampak baik pada anak sebagai orang tua harus seperti apa?
Pertama tetap harus istilahnya cuz your battle jadikan pilih isu-isu apa si yang memang pantas di konflikkan didepan anak tentu nggak yang perselingkuhan dong, masalah ekonomi jangan, masalah keluarga besar juga jangan, jangan didepan anak lah, usahakan isu-isu yang berat seperti itu jangan tapi kalau misalnya seperti Kak Bosco misalnya pemilihan sekolah itu boleh, jadi isu-isu yang ringan, lebih baik lagi kalau anak bisa ikutan diskusi juga jadi itu bisa bisa ditunjukkan ke anak kalau ayah ibu bisa beda pendapat, bisa satu sama lain saling menghargai pendapat masing-masing, memberi kesempatan ayah pendapatnya apa terus kasi jalan tengahnya terus baikkan lagi jadi di anak juga nggak akan takut kehilangan, melihat orang tuanya berkonflik tapi juga anak menyimpan memori lain bagaimana orang tua menyelesaikan si konflik itu dan akhirnya baikkan lagi dan itu terekam semua dan dampak lain anak juga belajar bagaimana menyelesaikan konflik dan itu bisa bisa dia pakai ketika dia ada konflik dengan temannya, ketika dia nanti ada pasangan dia bisa belajar disitu.

Penelepon dari Johan di Sunter
Jadi gini saya dan isteri memiliki temperamen yang mudah banget emosinya naik kan ya, dan terakhir kami bertengkar keras itu ternyata anak kami melihat mbak, anak saya itu usianya masih 4 mau ke 5 tahun si mbak, dan dia itu pas kita bertengkar menangis keras nih, setelah selesai bertengkar itu saya langsung menenangkan anak saya sih mbak, tapi dia sering marah dengan saya sendiri jadi kalau saya ingin bermain dengan dia jadi ada penolakan-penolakan dari anaknya, solusinya bagaiman untuk mengatasi masalah ini?
Dampaknya anak takut terhadap salah satu, karena dia nggak ngerti apa yang dia lihat. Jadi yang harus dilakukan orang tua menunjukkan bahwa memang sudah baik-baik saja dulu. Pak Johan dan isteri harus menunjukkan ke anak bahwa kami sudah baik-baik aja, terus usahakan juga ada satu momen dimana ayah dan ibu ini minta maaf ke anak, oh maaf ya papa dan mama bertengkar, kamu melihatnya ya sampai kamu nangis? Nah seperti itu. Tapi kami sekarang sudah baik-baik saja, jadi ada momen ada statement maaf juga anak sudah menyaksikan hal itu dan sampaikan juga kepada anak kami tidak akan bertengkar lagi, tadi anak masih 4 tahun ya mau kelima dengan bahasa anak-anak bisa dilakukan seperti itu. Umur segitu anak sudah bisa paham ya mbak? Sorry mama papa bertengkar. Ya anak sudah paham dan anak biasanya butuh contoh konkret ya, usahakan kembali baik sama isteri, mesra kembali sama isteri, hangat kembali jadi anak bisa melihat oh udah nggak apa-apa. Butuh berapa lama sih mbak untuk meyakinkan kembali atau membalikkan kembali kondisi anak untuk ke situasi biasa. Nggak ada batasan waktu tergantung bagaimana orang tua bisa membalikkan lagi supaya bisa hangat lagi tergantung dari usahanya orang tua terus bertengkar lagi atau tidak, nanti kalau bertengkar lagi anak bisa kembali lagi ke kondisi cemas lagi.

Komunikasi model yang seperti apa sih yang sebagai orang tua harus kita terapkan ketika ada konflik dan konflik itu mengarah ke suatu positif kalau tadi kan isu nya harus kita pilih, nah sekarang komunikasinya saat kita berkonflik statement-statement seperti apa yang boleh tersampaikan dan statement-statement apa yang nggak boleh tersampaikan yang mengarah konflik tersebut menjadi suatu yang positif ke anak.
Dalam komunikasi positif tentu juga emosinya mesti dijaga karena apa yang keluar dari mulut kita sangat tergantung dari apa yang kita rasakan, kalau sudah memuncak sebaiknya break dulu, pause dulu.  Bisa ambil Time ut dulu, itu satu yang bisa dilakukan terus dalam berkomunikasi tadi usahakan untuk tidak menyerang satu sama lain, jadi nggak keluar kata-kata kasar, kata-kata merendahkan satu sama lain, dasar kamu apa apa apa... kalau depannya sudah ada dasar kamu, usahakan jangan seperti itu, intonasi suara dan sebagainya, ekspresi muka kita jadi memang ini bukan hal yang mudah dilakukan maka konflik dilakukan dibelakang anak kalau kita belum bisa mengelolanya secara baik.

Tapi sebenarnya boleh nggak sih kita menjelaskan kepada anak sebenarnya kita sedang ada konflik nih, atau ada tahapan-tahapan usia tertentu anak sudah boleh tahu orang tuanya berkonflik atau sebaiknya anak nggak usah perlu tahu sama sekali, itu sebenarnya bagaimana?
Jadi memang tergantung pada si anak ya, pada dasarnya setiap anak itu unik, ada anak yang memang cukup diberitahu ayah dan ibu sedang ada masalah tapi kami sedang menyelesaikannya kamu nggak usah khawatir, ada yang cukup seperti itu. Tapi ada juga anak yang ingin tahu lebih banyak memang kenapa, tergantung pertanyaan mereka tapi nggak bisa secara lebih kita terangkan, tapi misalnya kita terangkan ayah dan ibu cuman beda pendapat, ayah kurang setuju kalau ibu pulang malam, ibu kurang setuju kalau ayah sering keluar kota, jelaskan yang general-general aja itu nggak apa-apa asal nggak mendetail sekali kalau anak bertanya. Tapi itu baru dijelaskan kalau anak bertanya ingin tahu lebih dalam tapi kadang anak diam-diam saja ya perlu sebagai orang tua bilang? Perlu diamati ini sudah mengganggu belum karena ada anak yang diam-diam saja nggak bertanya tapi secara perilaku berubah jadi lebih murung jadi lebih segan nggak mau dekat ke salah satu orang tua, terus aktivitas di sekolah juga terganggu terus juga ada laporan dari guru perlu dijelaskan.

Tips melindungi anak dari konflik orang tua
Jangan bertengkar didepan anak baik secara verbal maupun non verbal karena disadari atau tidak pertengkaran yang dilihat anak akan mempengaruhi kondisi emosionalnya.
Jangan melibatkan kekerasan. Jangan menggunakan kekerasan seperti memukul atau melempar barang ketika Anda berkonflik dengan pasangan karena akan menimbulkan ketakutan dan trauma. Anak juga akan mengcopy perilaku kekerasan Anda saat mereka tumbuh dewasa.
Jangan meminta anak untuk memilih. Kebanyakan orang tua saat bertengkar mencari dukungan anak, jangan buat anak Anda semakin bingung dengan kondisi konflik, akan lebih bijak jika Anda menjelaskan kondisi konflik dengan kata-kata yang sederhana dan tidak memihak.
Cari solusi. Jangan membiarkan konflik rumah tangga semakin berlarut, cari solusi segera agar tidak memberikan dampak bagi hubungan Anda dan juga anak Anda. Anda bisa meminta bantuan ahli jika diperlukan.
Kasih sayang dan perhatian. Walaupun Anda sedang berkonflik dengan pasangan tetap berikan kasih sayang pada anak Anda sehingga anak tidak berdampak dalam konflik hubungan.

Menjelaskan konflik ke anak bahasa yang paling tepat itu kayak apa?
Tergantung usia anaknya, kita sesuaikan dengan usianya, kemampuan dia memahami sesuatu, itu disesuaikan jadi orang tua masing-masing menyesuaikan yang tahu kondisi anak mereka ya mereka sendiri jadi pada intinya bisa kita jelaskan secara umum ayah ibu sedang ada masalah, kami sedang beda pendapat mengenai sesuatu contohnya mungkin seperti kamu dan temanmu di sekolah pernah berantem tuh jadi kita bisa analogikan seperti anak-anak alami dengan temannya, pasti kamu ada sebal tuh, sehari nggak mau ngomong, nah ayah ibu sedang seperti itu tapi kami akan baikkan lagi koq, jadi sampaikan kalau ini adalah sesuatu yang wajar kalau ini akan lewat perlu disampaikan juga ke anak untuk menghilangkan rasa cemas dan takut pada si anak tadi. Jadi bukan saat konfliknya saja yang perlu dijelaskan tapi perlu dijelaskan bahwa anak akan mendapat habis itu akan seperti apa, ayah dan ibu akan seperti apa itu perlu dijelaskan supaya nggak ada efek panjang itu tadi anak menjadi cemas, trauma, depresi, prestasi di sekolah turun.

Kalau sudah sampai ke cemas,  prestasi turun mungkin juga depresi dan hal-hal buruk lainnya sebetulnya penanganan yang tepat dari orang tua itu seperti apa?
Penanganan yang paling tepat sebenarnya yang paling signifikan dampaknya adalah perubahan di orang tua itu sendiri, orang tua perlu membaikkan hubungan suami-istri itu dulu dasarnya terlebih dahulu karena dari situlah asal muasalnya, berangkat dari situ untuk bantuan pihak ketiga atau profesional bisa diminta bantuan, karena anak perlu diyakinkan bahwa walaupun sudah berubah nih ayah dan ibunya sudah baikkan lagi, anak perlu diyakinkan bahwa selamanya akan begitu terus harus dibuka juga wawasannya apa si yang sebetulnya yang sedang terjadi dan apa sih yang sedang diusahakan ayah ibunya dan menjadi baik kembali lagi, nah tapi sekali lagi ketika orang tua berkonflik mungkin agak sulit ya karena memang sedang emosi dan ego masing-masing tapi tetap harus diingat tidak adil melibatkan anak dalam konflik diantara orang tua ini. Anak gampang sekali dijadikan obyek misal orang tua bercerai anak diminta memilih ikut siapa itu sangat tidak adil sekali bagi anak.

Tapi kalau berdampak kecemasan dan trauma sebenarnya itu bisa hilang nggak si?
Bisa, bisa sekali hilang dengan konseling, anak dapat penjelasan sebenarnya apa sih yang terjadi dan yang penting lagi bagaimana anak melihat hubungan kedua orang tuanya. Penting sekali ada momen dimana orang tua meminta maaf pada anak pada apa yang telah terjadi dan ada komitmen dari orang tua bahwa mulai saat ini akan jadi lebih baik itu yang penting itu yang akan dipegang anak untuk berubah pulih kembali. Harus komitmen juga bahwa yang dijanjikan orang tua benar-benar dilakukan nggak terjadi lagi. Misalnya memang dia dapat kondisi orang tuanya harus berpisah ya anak perlu dapat atensi bahwa dia tetap mendapatkan kasih sayang dari dua orang tua yang utuh walaupun tidak tinggal bersama lagi.

Kalau berbicara soal konflik erat sekali kaitannya dengan pengelolaan emosi, konflik sampai bisa bocor ke anak, sampai anak bisa melihat dan anak bisa dengar dan anak bisa membawa dampak pada dirinya, ketika nggak bisa tahan ayahnya ya udah lepas aja didepan anak, tentunya hal yang paling baik saat berkonflik dalam pengelolaan emosi apa si yang harus dilakukan?
Yang harus dilakukan sebenarnya jadi break, kasi rem untuk diri sendiri, ketika misalnya memang sudah tidak tertahankan stop dulu, pause dulu, cooling down dulu masing-masing memikirkan apa nih step selanjutnya. Jadi kalau diikuti terus itu yang akan terjadi misal kaya kak Bosco tadi berusaha konflik dalam kamar tapi kalau udah nggak tahan akan teriak, saling perang mulut, nah itu kan terdengar juga oleh anak, jadi jangan diikuti emosi. Jadi kalau sudah sampai ubun-ubun nih, break dulu tapi mesti sudah ada dulu kesepakatan dengan pasangan cara menyelesaikan konflik, cara bertengkar juga mesti dibicarakan dengan pasangan. Jadi cara berkonflik mesti disepakati, misal kalau kita punya masalah bagaimana nih cara berantemnya? Itu mesti di atur dengan menyadari si konflik-konflik ini akan berpengaruh ke anak. Semua orang tua pasti sayang pada anak-anaknya dan nggak mau hal negatif terjadi pada anak-anaknya termasuk mas si konflik ini. Itu perlu disadari juga jadi aturlah berkonflik mau seperti apa? Jadi harus disekapati cara bertengkar mau seperti apa. Ada pasangan yang kalau bertengkar harus diselesaikan sebelum tidur jadi ketika besok bangun ketemu dengan anak-anak sudah jadi baik-baik aja. Ada yang kalau bertengkar diluar rumah, ada yang seperti itu.

Ketika orang tua nggak mampu kelola emosinya seringkali pertengkaran itu bocor anak-anak melihat, ada dampaknya tersendiri nggak si jadi anak jadi pribadi yang emosinya gampang meletup-letup? Bisa sampai sejauh itu nggak?
Oh iya bisa karena orang tua itu jadi role model misalnya ayahnya nggak suka yang dilakukan ibunya terus banting pintu itu bisa diterapkan sama anak pada situasi yang kurang lebih sama. Misalnya disekolah dia sebal dengan temannys bisa melakukan hal yang sama. Oh kalau aku nggak suka, orang nggak nurut sama aku aku bisa melakukan hal yang kurang lebih sama. Anak belajar seperti itu dan itu akan terbawa ketika anak menikah nanti, bagaimana dia memperlakukan pasangan dilihat dari bagaimana dia melihat orang tuanya. Itu bisa terbawa.

Kita sebagai orang  tua bagaimana mengajarkan anak mengelola emosinya?
Pertama ketika anak emosi, anak diajarkan dulu mengenali emosinya. Misalnya anak marah lagi main terus tiba-tiba banting mainannya, kita bisa kamu marah ya? Kamu sebal ya? Jadi kita memberikan nama pada emosi si anak, jadi si anak tahu oh seperti inilah yang namanya marah, oh seperti inilah yang namanya sebal. Ketika dua sudah tahu kita bisa bilang kalau kamu marah kamu bilang aja aku kesal, aku marah sehingga saat anak bisa mengungkapkan secara lisan, secara verbal reaksi fisiknga  berkurang, tantrum guling-guling nya akan berkurang, pukul pukul berkurang karena bisa menyampaikan emosinya secara lisan. Dan saat anak bisa menyampaikan emosinya sebagai orang tua bisa merespon positif bertanya kamu kesal karena apa sih? Jadi terus diajak bicara untuk menenangkan dia. Balik lagi ke orang tua mengelola konflik dengan komunikasi secara positif satu sama lain bisa bilang aku nggak suka lho papa pulangnya malam terus anak bisa dicontohkan seperti itu, disana anak mencontoh gaya komunikasi bagaimana orang tua mengkomunikannya sehingga konflik bisa dibawa ke arah yang positif dan membangun.


Akhirnya saya meluangkan waktu untuk menulis tentang kelanjutan Seminar Love Your Marriage, buku catatan yang sempat kesingsal (lupa meletakannya dimana). Lansung aja ya ..... Tanggal 16 April 2016 ini seminar terakhir dari 3 rangkaian seminar, kali ini temanya Masalah dan Solusi.
Sekadar mengingatkan, seminar pertama dengan sub tema Siapkah Kamu Menikah? pada tanggal 2 April 2016
seminar kedua dengan sub tema Perkawinan Diberkati tanggal 9 April 2016

Ibu Wenny Mihardja selaku ketua panitia menyampaikan kata sambutan intinya beliau menyampaikan seminar ini diadakan dengan tujuan untuk membahas bagaimana kita menghadapi tantangan dan konflik didalam hidup berkeluarga dan solusinya. Kami berharap dengan pengetahuan  yang akan kita peroleh dalam seminar ini, kita dapat menerapkannya didalam hidup perkawinan kita, dan kita dapat membentuk keluarga Kristiani yang diberkati sebagaimana Tuhan kehendaki. 

Acara langsung dilanjutkan dengan pembicara Romo Andang L. Binawan, SJ.
Begitu ngomongin perkawinan banyak yang bilang : "Pastor tahu apa sich?" Begini pembelaan Romo Andang. Romo Andang langsung menanyakan siapa yang suka sepakbola? ternyata ada perempuan yang suka juga dengan sepakbola. Kita tahu bahwa dalam persebakbolaan yang menarik juga komentatornya bukan hanya pemainnya. Demikian juga dalam perkawinan, saya komentator perkawinan, dengan kata lain saya memberanikan diri untuk sedikit mensharingkan pemahaman saya terkait dengan perkawinan dan terkait dengan masalah dan solusi. Kalau mau disederhanakan sebenarnya saya berbagi tugas dengan Romo Erwin. Pembagian tugasnya begini perkawinan selalu ada masalah, biasanya kami bagi menjadi 4 stadium kayak cancer satu bagian suami isteri itu sendiri, dua tiga pergi ke Romo Erwin, yang keempat baru saya.

Lalu Romo Andang menyanyakan siapa yang disini yang belum menikah? Yang menikah diatas 30 tahun? Pertanyaannya untuk yang sudah menikah dan yang akan menikah, sebenarnya Anda menikah waktu itu kira-kira untuk apa ya? mau apa ya? Karena mama saya mau punya cucu, jangan-jangan begitu. Ada yang mencari teman hidup, ada yang mau supaya bahagia. Untuk yang sudah menikah inget nggak, sebelum menikah MC ngomong selamat datang di Gereja ini, Pada hari ini kita akan mendoakan supaya pasangan A dan B hari ini menikah dan hari ini menjadi saat yang terindah buat mereka. Apakah Anda pada waktu menikah minta pada hari pernikahan menjadi hari yang paling indah? ya nggak? kira-kira hari ini indah nggak? Saya mau mengatakan begini, ketika saya diminta untuk mendoakan mereka yang akan menikah supaya hari ini menjadi hari yang terindah buat mereka saya tidak mau, Saya tidak mau mendoakan saat pernikahan menjadi saat terindah, mengapa? terindah berarti yang paling indah hari itu kan? lalu hari berikutnya bagaimana? Justru sikap kita sebagai seorang Katolik bahwa pernikahan menjadi saat yang indah iya, yang terindah kapan? Justru disini kita akan mencoba melihat bagaimana kita mencoba memecahkan solusi. 

Suatu hari saya pergi ke Jogja depan saya duduk sekeluarga, bapak ibu dan 2 orang anak kira-kira umur 5 tahun dan yang kedua 1,5 tahun, seperti biasa orang naik pesawat harus pake shelt belt termasuk anak yang 1,5 tahun sudah tidak bisa dipangku. Anak yang berumur 1,5 tahun nangis, yang 5 tahun santai-santai saja. Kalau kita sadari mengapa anak kecil ini nangis? Sebenarnya karena dia belum tahu tujuannya kenapa shelt belt ini harus dipasang. Nah inilah yang menjadi dasar pengandaian saya terkait dengan masalah didalam perkawinan. Setiap orang punya masalah, bagaimana kita apakah tukang menangis, atau menjalaninya dengan biasa, atau menjalaninya dengan senyum terkait dengan persepsi kita masing-masing dengan perkawinan. Kalau orang tidak tahu tujuan perkawinan dia ada kesulitan bisa nangis seperti anak kecil tadi, tapi kalau kita tahu tujuan perkawinan, maka saya harap kita bisa menempatkan masalah itu didalam seluruh proses yang namanya perkawinan itu, itu tadi saya katakan perkawinan bukan sekedar wedding yang menjadi yang terindah pada waktu itu melainkan sebuah proses.

Mengapa proses? Ada sebuah panggilan yang paling dasar dari manusia. Kalau tadi Romo Harry Liong tanya apakah kita semua Katolik? Saya andaikan minimal kita semua yang kenal Yesus yang mengenal Injil sebagai pegangan kita. Didalam Injil kita ini diibaratkan benih yang ditanamkan Tuhan supaya tumbuh dan berbuah, saya tidak perlu mengutip ayat kitab sucinya, lihat di Matius 13:1-9 disitu dikatakan kita adalah benih yang harus tumbuh dan berkembang, terus, tidak peduli usianya berapa? Dalam konteks tumbuh dan berkembang ada dua jenis panggilan.
Pertama panggilan menjadi suami istri dan yang kedua panggilan menjadi SJ, Selamanya Jomblo
Kita punya panggilan untuk tumbuh dan berkembang.  Ibu Bapak memilih menjalani panggilan untuk menikah, dengan menikah itulah nanti kita tumbuh dan berkembang. Sekali lagi panggilan ada 2, bagaimana dengan panggilan lain jadi dokter, menjadi businessman, menjadi dosen, menjadi insinyur itu adalah panggilan sekunder yang harus ditempatkan untuk mendukung panggilan sebagai suami atau isteri bukan dibalik, kalau kita tahu gradasinyanya, nanti kalau ada masalah terkait dengan itu kita bisa menganalisanya dengan lebih gampang. Sekali lagi panggilan-panggilan profesi itu supporting untuk mendukung panggilan menjadi papa mama
Beda panggilan dan profesi itu apa?
Panggilan itu tidak ada kata cuti, apakah ada yang bisa cuti sebagai suami? Setiap detik dia adalah suami/atau juga seorang papa tapi menjadi insinyur, sebagai dosen, sebagai businessman bisa cuti, dengan kata lain panggilan itu selalu meresap dalam dirinya kita dan itulah yang nanti kita kembangkan untuk menjadi manusia yang tumbuh dan berkembang. cita-citanya jelas dalam Matius 13:8 ada yang berbuah 100x lipat ada yang 60x lipat 30x lipat itu pengandaian pertama.

Pengandaian kedua kita akan tumbuh dan berbuah dalam perkawinan terutama ketika kita memberikan cinta. Siapa yang boleh memberikan Sakramen Pernikahan? Pastor? Jelas.. Siapa yang memberikan Sakramen Pernikahan?, Ya pasangan itu. Seorang laki-laki ketika nanti berdiri disini menjanjikan aku menerima engkau sebagai istriku aku akan setia dalam suka dan duka, dalam untung dan malang, diwaktu sehat maupun sakit seumur hidup. Artinya apa? Aku memberikan diriku kepada pasangan dan itulah Sakramen. Sakramen menjadi sebuah pemberian diri karena cinta yang menumbuhkan itu adalah memberi. Jadi kita sudah punya 3 pengandaian pertama soal panggilan, kedua soal tumbuh dan berbuah yang ketiga memberi.
Pengandaian itu penting nanti kalau sudah menikah 10 tahun dengan dia aku nggak mendapatkan apa-apa dari dia berarti pengandaiannya salah seolah-olah kalau perkawinan aku harus mendapatkan dari dia padahal yang dijanjikan aku memberikan.

Pengandaian yang lain ada perkawinan itu adalah proses, proses yang harusnya naik bukan turun. Kalau kita mendoakan sepasang pengantin semoga hari menjadi saat terindah itu nanti prosesnya bisa turun. Kalau kita mendoakan hari ini indah semoga menjadi lebih indah maka kita seperti mendoakan mereka naik gunung.
Perkawinan itu ibarat naik gunung berdua. Naik gunung itu nggak gampang meskipun menyenangkan. Perkawinan ibarat naik gunung mengandaikan apa? Mengandaikan suka suka, mengandaikan kompromi. Mengandaikan juga seperti naik gunung itu kadang-kadang turun supaya bisa naik. Dalam seluruh proses kadang-kadang ada turunnya dan masalah itu ada disana, kita perlu tahu perspektifnya kalau kita tahu perspektifnya kita bisa menghadapinya dengan lebih santai dalam menjalani dinamika pernikahan.

Keluarga adalah sebuah sekolah cinta. Sekolah adalah sebuah proses dimana kita menjadi lebih baik dari hari ke hari. Pada waktu Anda sekolah ada saat-saat menyenangkan dan tidak bukan? Yang menyenangkan gurunya nggak masuk, libur, gurunya sakit. Kebalikannya yang nggak menyenangkan ulangan, ujian, banyak tugas, diserap, gurunya galak.
Coba sekarang pikir kalau nggak ada ulangan kalau nggak ada ujian, kalau gurunya nggak galak, kita belajar ga? Sebagian besar orang kalau nggak ada ujian, nggak ada ulangan kita nggak belajar apa artinya untuk hidup kita sebagai sekolah, kalau hidup ini menyenangkan semua kapan kita sekolah? Dengan kata lain seluruh masalah seluruh problem sebenarnya bisa kita lihat sebagai seperti sekolah ini ujian yang membuat kita menjadi lebih baik supaya kita naik kelas supaya kita menjadi lebih baik menjadi lebih dewasa. Demikian juga pernikahan kalau nggak ada masalah kita nggak mungkin tumbuh dewasa. Pengandaian-pengandaian ini diharapkan akan membuat sikap kita menjadi lebih jelas.

Bagaimana kita tumbuh dan berbuah? Perkawinan itu sekolah cinta yang dari EGP menuju Agape.
Setiap orang pada dasarnya egosentris memikirkan diri sendiri. Waktu Anda kecil ada guru Anda bagi coklat dan Anda boleh milih yang pertama Anda pilih yang mana? Pasti pilih yg paling besar. Andaikata terjadi gempa, siapa yang lari duluan pasti semua nggak ada yang bilang silahkan duluan. Tandanya apa? Ya pada dasarnya manusia itu egosentris.
Manusia-manusia yang mau menikah pada dasarnya juga diberi motivasi-motivasi individu, motivasi egosentris karena Tuhan menanamkan eros, Tuhan menanamkan libido, oksitosin supaya tertarik, demikian juga rasa nikmat dalam relasi seksualitas juga ditanamkan Tuhan, nggak jelek koq, yang jelek kalau berlebihan.
Cinta sejati itu yang dikembangkan dari EGP menjadi Agape. Agape itu cinta yang total, cinta yang tak bersyarat. Kita baru saja merayakan paskah.  Tri hari suci yang kita rayakan itu Cinta, Iman dan Harapan. Waktu Kamis Putih kita merayakan bagaimana Tuhan memberikan contoh cinta yang luar biasa, waktu Jumat Agung ketika Tuhan Yesus menyerahkan diri pada Bapa Nya itulah iman dan waktu Paskah ada harapan. Kalau kita sungguh orang Kristen maka kata cinta ini bukan sekedar eros, bukan sekedar libido melakukan Agape itulah cita-citanya tapi harus dibangun setapak demi setapak.

Ada perumpamaan lain pernikahan juga seperti menerbangkan layang-layang bersama keluarga. Untuk menerbangkan layang-layang perlu ke tanah lapang, Kita menemukan angin baru bisa terbang. Tanpa angin nggak akan terbang. Tetapi ada bahaya misalkan ada angin ribut.
Dengan perkawinan  diharapkan ego kita pecah. Tanpa ego kita pecah kita nggak akan tumbuh dan berbuah, bagaimana  caranya? Dengan menghadapi segala macam tantangan, segala macam kesulitan, segala macam masalah supaya kita tumbuh dan berbuah.

Romo Andang memperlihatkan video lagi makan bersama istri dan anak-anaknya nya nggak berani buka hp saat makan saat sendok kepala keluarga jatuh dan dia mengambilnya, anggota keluarga lain buru-buru ngecek HP masing-masing.  Hal itu berulang  terus dan ternyata si Bapak pura-pura menjatuhkan barang biar ada kesempatan melihat HP.

Segala macam tantangan ini akan jadi masalah besar kalau kita nggak waspada.
Kalau kita tidak memahami tujuan perkawinan dan waspada dalam menghadapi tantangan kita bisa menghadapi masalah dengan salah
Setiap keluarga ada masalah, setiap pribadi adalah pribadi yang unik, bukan hanya etnisnya, agamanya, cara berpikir laki-laki dan perempuan sudah berbeda.
Laki-laki kalau berpikir terkotak-kotak masa lalu yang biarkan masa lalu, masa depan nanti bisa dibicarakan. Hari ini bicara sekarang ya sekarang, bicara tentang hobi ya hobi, bicara keluarga ya keluarga. Sementara perempuan nggak ada kotak-kotak yang bicara sekarang bisa tiba-tiba masa lalu apalagi kalau marah, kamu dulu begini-begini. Ini sekedar contoh, laki-laki harus siap dengan cara berpikir perempuan dan perempuan harus tahu cara berpikir laki-laki. Secara psikologis jelas berbeda bukan hanya secara rasional, laki-laki nggak mengalami datang bulan. Kita harus realistis datang bulan itu mempengaruhi cara berpikir. Waktu itu teman saya cerita enak ya nggak punya pacar, pusing tiba-tiba  bisa marah kesana kemari. Itulah namanya perempuan tiap bulan ada dinamikanya sendiri. Saya nggak mengatakan itu jelek tapi itu diciptakan Tuhan juga dalam konteks bagaimana kita saling melengkapi dan saling mengenal.

Kalau kita tahu masing-masing berbeda bisa memicu timbulnya konflik, apakah itu selera makan, warna cat tembok, apakah itu warna baju bisa jadi potensi konflik apalagi pandangan tentang perkawinan, pandangan tentang anak berbeda, potensi konflik lebih tinggi. Mohon perbedaan agama harus hati-hati, kalau tidak hati-hati bisa konflik yang lebih besar, tapi kalau bisa dikelola silahkan. Konflik adalah bagian dari hidup. Cita-cita perkawinan bukan hanya melahirkan anak dan kebahagiaan tapi membuat kita sempurna maka ketidaksempurnaannya menyempurnakanku, ketidaksempurnaan suami atau isteri menyempurnakanku, dalam menghadapi dia aku jadi lebih sabar. Seluruh masa harus kita sikapi dengan benar dan dikelola dengan benar.
Ada yang mengatakan Romo saya sudah tidak tahan lagi, saya harus pergi. Sebagai Katolik apakah bisa pergi? Tidak. Misal tangan kita mau diamputasi karena stroke boleh tidak Romo kalau tangan saya diamputasi? Tidak. yang prinsipnya tidak, kalau kita menyikapi dengan gembira kita bisa jadi kesaksian tapi kalau ternyata bagian tubuh yang harus diamputasi kalau tidak akan mempengaruhi bagian tubuh yang lain ya baru diamputasi. Pada prinsipnya pertama adalah tidak.
ketemu Puji dan Fani - narsis setelah makan siang
Kenapa ada teman saya menikah orang kaya bisa dibatalkan dengan cepat? Tetapi ada teman saya yang miskin lama banget meskipun dia ditinggalkan suaminya tapi minta pembatalan pernikahan sulit.
Saya berani mengatakan bukan karena kaya atau miskin. Andai kata itu terjadi, katakanlah sepasang biasanya bukan sepasang tapi satu-satu datangnya karena nggak mau ketemu pasangan. Belum pernah minta pembatalan datang berdua. Pembatalan adalah ketika Gereja menilai kalau itu bukan perkawinan sementara kalau Perceraian melihat dari kejadian awal menikah. Dalam gereja Katolik ada yang namanya  kanonik, ada penyelidikan satu persatu.
Lihat masalahnya apa, kalau masalahnya setelah 20 thn nikah digamparin karena suami dipecat dari kerjaan ya nggak bisa dibatalkan kalau mau pisah ya pisah rumah tapi kalau masalahnya suaminya punya hutang banyak dan nyawa isteri jadi terancam dan perlu perceraian sipil ya bisa saja tapi dimata Gereja mereka tidak cerai.

Sebenarnya masih banyak pertanyan-pertanyaan saat sesi tanya jawab lalu dilanjutkan istirahat makan siang, setelah istirahat makan siang ada kesaksian iman dari pasutri Pak Ignatius dan Ibu Mimi dan ada sesi tanya jawab lagi. Kesaksian pasutri Pak Ignatius dan Ibu Mimi bikin saya terharu. Tapi lain kali saja deh saya ceritanya, sementara segini dulu, ntar kalau udah ada waktu nulis lagi baru saya tambahin ceritanya.